Sabtu, 07 Maret 2015

Arti Topeng Dalam Kesenian Indonesia

   Arti dan asal-usul penggunaan istilah topeng di Indonesia dapat ditelusuri dari beberapa sumber pustaka dan catatan-catatan tempo dulu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia tertulis topeng atau kedok adalah penutup muka yang terbuat dari kayu (kertas dan sebagainya) berupa orang, binatang dan sebagainya (Poerwadarminta, 1997: 1087). Sedangkan dalam Ensiklopedia Indoensia dijelaskan dalam Bahasa Jawa, topeng bearti kedok yaitu hasil seni ukir, berupa kedok atau penutup wajah, lazimnya dari kayu berwujud tokoh legendaris, wayang dan sebagainya. “Pada umum raut muka pada topeng dibentuk karakteristik (dilebih-lebihkan untuk memperoleh citra yang berkesan” (Shaddly, 1984: 2359). Menurut kata sifat topeng ialah sikap kepura-puraan untuk menutupi maksud yang sebenarnya (Prayitno, 1999: 111).

Kata Topeng dalam Ensiklopedia Tari Indonesia berasal dari kata “tup” yang bearti tutup. Kemudian karena gejala bahasa yang disebut pembentukan kata (formative form) kata tup ini ditambah dengan kata “eng” yang kemudian menjadi tupeng. Tupeng kemudian mengalami beberapa perubahan sehingga menjadi “topeng” kata lain dari topeng di Indonesia dalam bahasa Sunda adalah kedok yang berdekatan dengan wedak sebagai sesuatu yang diletakkan pada muka seseorang (Ensiklopedia Tari Indonesia, 1986: 1996-1997).
Buku pertama yang digunakan penulis dalam mengkaji arti dan fungsi topeng adalah buku karya Maman Suryaatmadja berjudul Topeng Cirebon (1980). Menurutnya secara etimologis kata topeng terbentuk dari asal kata: ping, peng, pung dan sebagainy yang artinya ” bergabung ketat kepada sesuatu” (1980: 27).
Istilah lain yang berkaitan dengan kata topeng diantaranya terdapat dalam bahasa Sunda tepung (bertemu atau bersambung), napel (melekat, menempel). Dalam bahasa Bali tapel atau topeng artinya terbentuk dari asal kata pel yang bearti melekat pada sesuatu; menempel pada sesuatu. Di daerah Lampung Selatan dikenal istilah “tuping” yang merupakan gabungan dari kata tup (artinya tutup) dan kata pung (artinya merapatkan pada sesuatu atau menekan kepadanya).
Dalam kepustakaan Jawa dan Jawa Tengahan seperti kitab Negara Kertagama (1365 M) dikenal istilah “raket” yang menjelaskan sesuatu permainan tari topeng. Dalam kidung sunda disebut istilah “patapelan” menunjukan kepada pegelaran drama tari topeng, dalam pararaton terdapat istilah “tapuk” dan “anapuk” artinya menari topang (Suryaatmadja, 1980: 27).
Menurut Soedarsono istilah topeng berakar dari kata tapuk yang berarti topeng. Tapuk secara harfiah berarti “menampar” dan biasanya yang dikenai adalah muka. Oleh karena itu, Soedarsono berkeyakinan bahwa matapukan berarti menyajikan tari topeng dan hatapukan berarti penyaji tari topeng.
Untuk sumber kedua yang digunakan penulis adalah tesis karya Usep Kustiawan yang berjudul Topeng Sebagai Bentuk Seni Rupa dalam Kesenian Tradisional Cirebon, dalam tesis tersebut dikatakan bahwa istilah topeng dalam kaitannya dengan asal kata tapuk dan tapel yang berhubungan dengan drama tari topeng terdapat dalam beberapa prasasti dari abad ke-9 seperti pada prasasti Wahara Kuti (840 M) terdapat istilah “atapukan” artinya topeng atau petugas yang berkuasa tentang pertunjukan topeng. Pada prasasti Candi Perot (850 M) tertulis kata “manapel” berasal dari kata tapuk atau tapel yang berarti topeng. Pada prasasti Bebetin (896 M) terdapat kata “patapukan” yang berarti perkumpulan topeng. Pada prasasti Mantiasih (904 M) terdapat istilah “matapukan” dan “manapukan” yang artinya berhubungan dengan penyajian drama dari topeng (Kustiawan, 1996: 32).
Memperhatikan asal-usul istilah topeng dan pemakaian asal kata tapuk dan tapel mengarah pada pengertian penutup muka. Maka dapat disimpulkan bahwa pengetian topeng adalah penutup muka hasil seni ukir berbentuk wajah manusia atau binatang yang terbuat dari kayu, logam, kertas dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar